Bagi Anda yang mau nikah, pilih gadis atau janda? Dari segi syariat, apakah memang dianjurkan menikahi seorang gadis yang masih perawan? Apakah ada keutamaannya? Lebih utama mana jika seorang perjaka berencana menikahi seorang janda karena niatnya ingin menolong? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi pokok bahasan posting kali ini.
Menikah itu kombinasi ajaib dari sisi-sisi yang saling melengkapi. Ia di satu sisi adalah karunia, di sisi lain adalah tanggung jawab, di sisi berbeda adalah kebajikan bagi sesama, dan di berbagai sisi lain ia bisa menjadi kebutuhan fitrah, sarana memuaskan hasrat birahi secara halal, media memuliakan cinta sesama jenis dengan cara yang dibenarkan syariat, menggapai obsesi dengan anak dan harta, dan, beragam sisi lainnya. Kesemuanya bisa saling melengkapi, saling mengisi dan saling memberi nuansa indah pada media agung yang disebut Pernikahan.
Berpangkal dari wujud nikah yang merangkum begitu banyak sisi tersebut, maka orang yang ingin menikah juga berhak membangun obsesi-obsesi halal seputar sisi-sisi yang melekat pada media pernikahan.
Ia berhak membangun obsesi untuk bersenang-senang secara halal, menikmati masa mudanya, bercengkerama dengan gadis perawan yang telah sah menjadi istrinya, demikian pula sebaliknya, si istri dengan pemuda idaman yang telah sah menjadi suaminya.
Itulah yang diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — kepada salah seorang sahabat beliau yang baru saja menikahi seorang janda,“Kenapa engkau tidak menikah seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercandaria?”…yang dapat saling menggigit bibir denganmu?” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam satu riwayat disebutkan, “Kalian bisa saling tertawa dan menggembirakan satu terhadap yang lain.” (Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nafaqat, Bab ‘Aunul Mar’ah Zaujaha fi L4aladihi, juz 11, hal. 441).
Di dalam satu riwayat lagi, “Sehingga engkau juga memiliki yang dimiliki anak-anak gadis, berikut air liurnya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Itu artinya, menikahi seorang gadis juga “memborong” berbagai maslahat dan kepentingan yang diabsahkan dalam Islam. Maka, orang yang memilih menikahi gadis yang masih perawan demi tujuan-tujuan halal yang bisa membantunya untuk semakin bertakwa kepada Allah, jelas telah berada di jalur yang tepat, dan itu amat diapresiasi dalam Islam, seperti yang diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — di atas. Tapi, bagaimanapun, itu hanyalah satu alternatif dari sekian alternatif pilihan.
Orang juga berhak menikah dengan wanita yang terbukti subur dan penyayang terhadap anak, baik ia gadis –melalui penelitian medis, dan juga kebiasaannya sehari-hari– ataupun janda. Karena memiliki banyak keturunan juga tujuan absah dalam Islam, bahkan juga sangat dianjurkan.
Nabi bersabda, "Nikahilah wanita yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umatkudi hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan Menikahi wanita yang tidak dapat beranak, hadits No. 2050. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan menikahi wanita mandul, hadits No. 3227, dishahihkan oleh Ibnu Hibban No. 228).
Ibnu Hajar memberi penjelasan, “Hadits ini dan hadits-hadits yang senada yang banyak jumlahnya, meski sebagian di antaranya lemah, memberikan motivasi untuk menikah dengan wanita yang bisa memberikan keturunan.”
Di sini, ada sebuah rahasia penting tentang keragaman pilihan dalam menikah. Tentu, seorang janda yang sudah menikah secara kongkrit bisa memberi bukti bahwa ia wanita yang subur dan penyayang terhadap anak.
Maka, bila seorang pria lajang memilih menikah seorang janda beranak dua misalnya, karena ia melihat wanita itu terbukti subur –dari jarak kelahiran kedua anaknya– dan tampak begitu sangat menyayangi kedua anaknya, maka pria tersebut juga berada di garis syariat. Karena perintah atau anjuran Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dalam hadits di atas juga sangatlah lugas, siapapun yang melaksanakan substansi perintah tersebut, meski dengan menikah seorang janda, maka ia telah menjalankan Sunnah Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –.
Begitu pula orang yang menikahi seorang janda karena alasan ingin menolong janda tersebut. Saat ditinggal wafat istrinya, Khadijah, Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — mengalami kesedihan hebat. Saat itulah, seorang wanita, Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dengan pertanyaannya, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?” Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya, “Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?”
Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.” “Siapa yang gadis?” Tanya beliau lagi. “Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr,” jawab Khaulah. Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi, “Siapa yang janda?” “Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.” Jawab Khaulah.
Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita Muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya. Lebih-lebih di saat itu, Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.
Riwayat ini menegaskan tentang adanya anjuran menikahi janda bila bertujuan meringankan beban hidupnya, dan itu termasuk dalam kategori “tolong-menolong atas dasar ketakwaaan dan kebajikan.” Juga termasuk yang mendapatkan kabar gembira, “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama si hamba menolong sesamanya.”
Suatu saat, Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — pernah bersabda,
“Sesungguhnya orang-orang Bani Asy’ar itu bila terkena musibah kematian dalam peperangan sehingga istri-istri sebagian di antara mereka menjanda, atau keluarga sebagian mereka kekurangan makanan, mereka akan mengumpulkan makanan-makanan mereka dalam satu buntalan kain, baru mereka bagikan secara merata di antara mereka dalam satu nampan. Mereka bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari mereka..” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Demikian ungkapan rasa kasih beliau terhadap para janda. Menikahi janda karena kondisinya yang miskin dan butuh pertolongan termasuk dari bagian sunnah yang dapat dipahami dari hadits ini. Dengan demikian, kedua pilihan tersebut –menikahi gadis atau janda– sama-sama bisa berada di garis anjuran syariat, keduanya adalah alternatif, dan siapapun berhak memilih mana yang baginya lebih ia minati.
Nah, persoalannya, tengoklah kemampuan diri dan juga kapasitas yang ada dalam diri kita masing-masing. Teliti dan cermati kebutuhan yang berjalan selaras dengan kondisi jiwa kita, kebutuhan fisik kita, kecenderungan hati kita, dan segala wujud alat analisa yang tersebar dalam diri kita.
Praktisnya, bila seseorang berkeinginan menikahi seorang janda, jangan ia mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri yang ingin ia capai dengan menikah. Teliti dan cermati, bila ia menikahi janda tersebut, apakah segala keinginannya untuk bercengkerama, bersenang-senang secara halal, melampiaskan kebutuhan ragawinya yang secara fitrah butuh dilampiaskan, apakah semua itu dapat dicapai?
Kalaupun tak sepenuhnya, minimal hingga batas ia tak perlu mengumbarnya dengan cara yang haram! Atau, misalnya dapat dipenuhi sisanya dengan berpoligami secara sehat, apakah istri pertama (wanita janda yang ia nikahi tersebut) rela berbagi?
Bila pilihannya adalah menikahi seorang gadis, dapatkan gadis itu memenuhi kebutuhannya soal anak misalnya. Kalau memang bisa, adakah kelebihan si janda dibandingkan si gadis yang dapat mendorongnya untuk lebih memilih janda tersebut?
Berbagai pilihan terbentang di depan kita, dan Islam memang agama yang maslahat. Maka ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan mubah tersebut, gunakanlah kebijakan analisa kita untuk dapat mencapai sebesar-besarnya maslahat bagi diri kita, agama kita, dunia dan akhirat kita secara keseluruhan. Gadis atau janda bukanlah masalah, yang menjadi masalahnya: Dengan siapakah di antara keduanya Anda merasa bisa hidup berbahagia dan sejahtera? Pilihan ada di tangan Anda. Wallaahul muwaffiq. Sumber: majalahsakinah.com
Tags yang terkait dengan hukum menikah: menikahi janda dalam islam, keutamaan menikahi janda, hukum menikahi janda, pahala menikahi janda, hukum menikahi, hukum menikahi pelacur, hukum menikahi wanita yang pernah berzina, hukum menikahi wanita hamil menurut islam, hukum menikahi anak tiri, hukum menikahi sepupu, hukum menikahi wanita non muslim, hukum menikahi janda, hukum menikahi wanita hamil diluar nikah.
Topik-topik terkait:
Hukum Nikah Dalam Islam
Hukum Nikah Siri Dalam Islam
Nikah Mutah Dalam Islam
Rabu, 31 Oktober 2012
Selasa, 30 Oktober 2012
Nikah Mutah Dalam Islam
Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”.
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
Hadis lain menyatakan:
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan.
Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi.
Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturan-Nya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Wallahu a’lam bi as-shawab. Sumber: mui.or.id
Tags yang terkait dengan nikah mutah: nikah mut'ah halal, nikah mut'ah haram, nikah mutah download, nikah mutah software, syarat nikah mutah, pengertian nikah mutah, ocehan vikar nikah mutah, fatwa nikah mutah.
Senin, 29 Oktober 2012
Hukum Nikah Siri Dalam Islam
Nikah siri bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Nikah siri dalam presepsi masyarakat dipahami dengan 2 bentuk pernikahan :
Pertama, Nikah tanpa wali yang sah dari pihak wanita. Kedua, Nikah di bawah tangan, artinya tanpa adanya pencatatan dari lembaga resmi negara (KUA).
Nikah siri dengan pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:
Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam ini. (At-Talkhis Al-Habir, 3:156).
Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang sebenarnya.
Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.
Selanjutnya, jika yang dimaksud nikah siri adalah nikah di bawah tangan, dalam arti tidak dilaporkan dan dicatat di lembaga resmi yang mengatur pernikahan, yaitu KUA maka status hukumnya sah, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga nikah siri dengan pemahaman ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul akad nikah, dan seterusnya.
Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan:
Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59). Sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah.Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami atau sebagai istri.
Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan.
Dus, jadilah sang istri terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami yang tidak bertanggung jawab itu. Beberapa pertanyaan tentang kasus semacam ini telah disampaikan kepada kami. Artinya, itu benar-benar terjadi dan mungkin banyak terjadi.
Anda sebagai wanita atau pihak wali wanita, selayaknya perlu mawas diri. Bisa jadi saat di awal pernikahan Anda sangat menaruh harapan kepada sang suami. Tapi ingat, cinta kasih juga ada batasnya. Sekarang bilang sayang, besok tidak bisa kita pastikan. Karena itu, waspadalah..
Keempat, memudahkan pengurusan administrasi negara yang lain.
Sebagai warga negera yang baik, kita perlu tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst. Bagi Anda mungkin semua itu terpenuhi, selama status Anda masih mengikuti orang tua dan bukan KK sendiri. Lalu bagaimana dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai banyak kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki akta kelahiran. Di saat itulah, seolah-olah anak Anda tidak diakui sebagai warga negara yang sempurna. Dan kami sangat yakin, Anda tidak menginginkan hal ini terjadi pada keluarga Anda. Allahu a’lam. Sumber: konsultasisyariah.com
Tags: yang terkait dengan hukum nikah siri, hukum nikah siri tanpa wali, syarat nikah siri,hukum nikah siri dengan wali hakim, dasar hukum nikah siri, hukum nikah siri dalam islam, makalah hukum nikah siri, hukum nikah siri menurut Negara, hukum nikah siri dalam pandangan islam.
Kamis, 25 Oktober 2012
Hukum Nikah Dalam Islam
Dalam posting kali ini kita akan bahas tentang hukum menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.
Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
Hukum Pernikahan Yang Wajib
Menikah itu wjib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui."(QS. An-Nur: 32).
Hukum Pernikahan Yang Sunnah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Nikahilah wanita yang banyak anak, karena Aku berlomba dengan nabi lain pada hari kiamat." (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbam).
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani." (HR. Al-Baihaqi 7/78).
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
Hukum Pernikahan Yang Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
Hukum Pernikahan Yang Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
Hukum Pernikahan Yang Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah. Sumber: Ebook Fiqih Nikah Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc.
Tags yang terkait dengan hukum nikah: syarat nikah, dasar hukum nikah, rukun nikah, hukum nikah dalam islam, hukum nikah beda agama, hukum nikah siri, makalah hukum nikah siri, hukum nikah siri dalam islam.
Langganan:
Postingan (Atom)